Pernahkah Anda membayangkan sebuah mahakarya kuno yang menjulang megah, menyimpan ribuan cerita dan filosofi di setiap ukiran batunya? Itulah Candi Borobudur, sebuah permata sejarah yang tidak hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi juga diakui sebagai salah satu keajaiban dunia. Perjalanan waktu yang dilalui candi Buddha terbesar di dunia ini sungguh luar biasa, penuh misteri, kejayaan, dan kebangkitan. Mari kita selami lebih dalam sejarah Candi Borobudur, menelusuri jejak-jejaknya dari masa lampau hingga menjadi ikon abadi seperti sekarang.
Menguak Tabir Sejarah Candi Borobudur: Megahnya Warisan Dunia
Kisah Borobudur dimulai jauh di masa lalu, terukir dalam lembaran sejarah nusantara yang kaya. Lebih dari sekadar tumpukan batu, candi ini adalah representasi nyata dari puncak kebudayaan dan spiritualitas pada masanya. Memahami asal-usul dan konstruksinya adalah kunci untuk mengapresiasi keagungan warisan ini.
Asal-Usul Nama dan Misteri Pendirinya
Nama “Borobudur” itu sendiri sudah memicu berbagai spekulasi. Ada yang berpendapat berasal dari kata “Bara” yang berarti kompleks biara atau kuil, dan “Budur” yang bermakna atas. Jadi, “Bara-Budur” bisa diartikan sebagai “biara di perbukitan”. Teori lain mengaitkannya dengan bahasa Sansekerta, “Bhumisambharabudhara,” yang berarti “bukit akumulasi kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva”. Apapun asal-usul namanya, satu hal yang pasti: maknanya sarat akan nilai-nilai spiritual.
Mengenai siapa yang memerintahkan pembangunannya, konsensus sejarah mengarah pada Wangsa Sailendra, sebuah dinasti penguasa Jawa yang sangat berkuasa dan menganut agama Buddha Mahayana. Raja Samaratungga dipercaya sebagai tokoh utama di balik proyek kolosal ini, yang dimulai sekitar abad ke-8 Masehi dan selesai di abad ke-9 Masehi. Proses pembangunannya diperkirakan memakan waktu puluhan tahun, bahkan hingga satu abad, melibatkan ribuan pekerja dan seniman terampil.
Pembangunan Megah: Karya Seni dan Spiritualitas
Bayangkan, tanpa alat modern, masyarakat kuno mampu membangun struktur sekompleks Borobudur. Candi ini dibangun menggunakan sekitar dua juta balok batu andesit, ditata tanpa menggunakan perekat. Arsitekturnya mencerminkan kosmologi Buddha, dibagi menjadi tiga tingkatan utama yang melambangkan tahapan pencarian pencerahan:
- Kamadhatu (Dunia Nafsu): Bagian terbawah yang melambangkan kehidupan manusia yang masih terikat pada hawa nafsu duniawi. Panel-panel relief di sini (yang sebagian besar tertutup) menggambarkan karma phala, hukum sebab-akibat.
- Rupadhatu (Dunia Bentuk): Bagian tengah yang terdiri dari empat teras persegi, melambangkan manusia yang mulai bebas dari nafsu, tetapi masih terikat pada bentuk dan nama. Di sini, terdapat ribuan relief yang luar biasa, mengisahkan kehidupan Buddha Siddhartha Gautama dan ajaran-ajaran moral. Ini adalah galeri seni Buddha terlengkap dan terbesar di dunia.
- Arupadhatu (Dunia Tanpa Bentuk): Bagian teratas yang terdiri dari tiga teras melingkar, melambangkan pencapaian kesempurnaan, di mana manusia telah lepas dari segala bentuk dan nafsu, menuju nirwana. Di sini terdapat 72 stupa berlubang yang mengelilingi stupa induk terbesar di puncaknya, masing-masing berisi arca Buddha.
Setiap relief dan patung Buddha di Borobudur bukan sekadar hiasan, melainkan narasi visual yang mendalam, panduan spiritual bagi siapa pun yang mendaki.
Periode Keemasan dan Kejatuhan yang Misterius
Setelah pembangunannya rampung, Borobudur menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pembelajaran Buddha yang sangat penting di Asia Tenggara. Para peziarah dan cendekiawan datang dari berbagai penjuru untuk belajar dan melakukan ritual. Ini adalah masa kejayaan Borobudur, di mana gaung ajarannya menyebar luas.
Namun, kejayaan ini tidak berlangsung selamanya. Sekitar abad ke-10 hingga ke-11 Masehi, Candi Borobudur mulai ditinggalkan. Alasan pasti di balik kejatuhan dan pengabaian ini masih menjadi misteri yang diperdebatkan para sejarawan. Beberapa teori menyebutkan:
- Bencana alam: Letusan dahsyat Gunung Merapi yang berulang kali menyelimuti candi dengan abu dan material vulkanik.
- Perpindahan pusat kekuasaan: Kerajaan Mataram Kuno memindahkan ibu kotanya ke Jawa Timur, mungkin karena bencana alam atau faktor politik.
- Pergeseran agama: Masuknya agama Islam yang perlahan-lahan menggantikan Hinduisme dan Buddhisme di Jawa.
Apapun alasannya, Borobudur kemudian “tertidur” di bawah timbunan tanah dan vegetasi lebat selama berabad-abad, seolah menunggu waktu untuk dibangunkan kembali.
Tidur Panjang Candi Borobudur: Tersembunyi di Balik Abu Vulkanik
Ribuan tahun berlalu, Borobudur tetap diam, ditelan bumi dan ditumbuhi pepohonan. Cerita dan keberadaannya hanya menjadi legenda di kalangan penduduk lokal. Namun, takdir memiliki rencana lain untuk mahakarya yang terlupakan ini.
Penemuan Kembali oleh Sir Stamford Raffles
Titik balik datang pada tahun 1814. Saat itu, Jawa berada di bawah kekuasaan Britania Raya, dan gubernurnya adalah Sir Thomas Stamford Raffles, seorang yang memiliki ketertarikan besar pada sejarah dan budaya lokal. Dalam sebuah kunjungannya ke Semarang, Raffles mendengar desas-desus tentang sebuah monumen besar yang terkubur di dalam hutan. Rasa penasaran mendorongnya untuk mengutus seorang insinyur Belanda, H.C. Cornelius, beserta 200 anak buahnya untuk menyelidiki.
Apa yang mereka temukan sungguh mengejutkan. Di bawah timbunan tanah, abu vulkanik, dan semak belukar, tersembunyi sebuah struktur batu raksasa yang tidak lain adalah Candi Borobudur. Raffles sendiri tidak bisa melihat keseluruhan struktur karena kondisinya yang rusak parah, namun ia segera menyadari betapa pentingnya penemuan ini. Ia mencatat penemuan Borobudur dalam bukunya yang terkenal, The History of Java. Penemuan Raffles ini menjadi momen krusial yang mengembalikan Borobudur ke peta dunia.
Upaya Pemugaran Awal dan Tantangan yang Ada
Setelah penemuan kembali, beberapa upaya awal untuk membersihkan dan memugar Borobudur dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1835, seluruh candi berhasil digali dan dibersihkan dari timbunan tanah. Kemudian, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, serangkaian restorasi yang lebih serius dilakukan, dipimpin oleh J.W. Ijzerman (1885) dan Theodore van Erp (1907-1911).
Van Erp melakukan pekerjaan yang signifikan, terutama pada bagian stupa dan puncak candi. Namun, upaya-upaya ini menghadapi banyak tantangan. Kerusakan struktur akibat tanah yang amblas, erosi, pertumbuhan lumut, dan vandalisme masih menjadi masalah besar. Air hujan yang meresap ke dalam struktur juga mempercepat kerusakan. Jelas bahwa Borobudur membutuhkan upaya restorasi yang jauh lebih komprehensif.
Kebangkitan Kembali: Restorasi Akbarm dan Pengakuan UNESCO
Kondisi Borobudur yang terus memburuk menarik perhatian dunia. Para ahli menyadari bahwa tanpa intervensi besar, warisan tak ternilai ini akan hancur.
Proyek Restorasi UNESCO (1973-1983)
Pada awal tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia bersama dengan UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) meluncurkan proyek restorasi terbesar dan paling ambisius dalam sejarah Borobudur. Proyek ini berlangsung selama sepuluh tahun, dari tahun 1973 hingga 1983, dan menelan biaya jutaan dolar yang didanai oleh berbagai negara.
Skala restorasi ini sangat masif. Seluruh bagian candi dibongkar, ribuan balok batu dibersihkan satu per satu, dipisahkan, dan diberi nomor. Sistem drainase bawah tanah diperbaiki total untuk mencegah rembesan air yang merusak. Pondasi candi diperkuat, dan teknologi modern digunakan untuk memastikan stabilitas strukturnya. Setiap balok batu yang rusak parah diganti dengan yang baru atau diperkuat dengan metode konservasi canggih. Ini adalah kolaborasi internasional yang monumental demi menyelamatkan warisan budaya dunia.
Pengakuan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO
Berkat keberhasilan proyek restorasi yang luar biasa ini, Candi Borobudur kembali berdiri tegak dalam kemegahan aslinya. Pengakuan internasional pun datang. Pada tanggal 13 Desember 1991, UNESCO secara resmi menetapkan Candi Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia dengan kriteria gabungan (i), (ii), dan (vi) yang menunjukkan nilai universal luar biasa sebagai mahakarya seni, arsitektur, dan sebagai representasi keyakinan keagamaan.
Pengakuan ini menegaskan status Borobudur bukan hanya sebagai milik Indonesia, tetapi sebagai pusaka kemanusiaan yang harus dilestarikan oleh seluruh dunia. Status ini juga membawa tanggung jawab besar dalam menjaga dan mengelola situs agar tetap lestari untuk generasi mendatang.
Borobudur Hari Ini: Lebih dari Sekadar Batu, Simbol Keabadian
Kini, setelah melewati berbagai pasang surut sejarah, Candi Borobudur bukan hanya sebuah monumen kuno. Ia adalah simbol, inspirasi, dan pusat kehidupan.
Pusat Ziarah dan Daya Tarik Wisata Dunia
Setiap tahun, jutaan wisatawan domestik maupun mancanegara berbondong-bondong datang ke Borobudur, takjub oleh keagungan dan keindahan arsitekturnya. Lebih dari itu, candi ini tetap menjadi pusat ziarah penting bagi umat Buddha di seluruh dunia. Setiap perayaan Waisak, ribuan umat Buddha berkumpul di Borobudur untuk melakukan prosesi spiritual yang khusyuk, mengingatkan kita pada tujuan awal pembangunan candi ini sebagai tempat untuk mencapai pencerahan.
Borobudur juga menjadi tulang punggung ekonomi pariwisata lokal dan nasional, menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan budaya sekitar. Keberadaannya terus menginspirasi seniman, akademisi, dan masyarakat luas untuk belajar dari kebijaksanaan masa lalu.
Tantangan Konservasi di Era Modern
Meskipun telah dipugar secara menyeluruh, menjaga kelestarian Borobudur di era modern tetap menjadi tantangan. Faktor-faktor seperti erosi akibat cuaca, pertumbuhan mikroorganisme, polusi udara, dampak letusan gunung berapi (seperti yang terjadi pada tahun 2010 dengan abu Merapi), serta tekanan dari jumlah pengunjung yang terus meningkat menjadi perhatian utama.
Oleh karena itu, upaya konservasi dan pemeliharaan terus dilakukan secara berkesinambungan. Pembatasan akses ke beberapa area, penelitian ilmiah, dan pendidikan tentang pentingnya pelestarian adalah bagian dari strategi untuk memastikan Borobudur tetap lestari. Kita semua memiliki peran untuk menjaga warisan dunia ini.
Candi Borobudur adalah sebuah perjalanan spiritual dan artistik yang membentang ribuan tahun. Dari sebuah bukit yang dipahat menjadi mahakarya, terkubur dalam diam, hingga bangkit kembali dalam kemegahan, sejarah Candi Borobudur adalah kisah tentang ketahanan, kreativitas manusia, dan kekuatan spiritual yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan hanya tumpukan batu, melainkan cermin masa lalu, guru di masa kini, dan harapan untuk masa depan, berdiri kokoh sebagai pengingat akan keabadian warisan peradaban. Mari kita terus menjaga dan mengapresiasi keajaiban ini.
—
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
Q: Kapan Candi Borobudur dibangun?
A: Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun pada abad ke-8 Masehi dan selesai pada abad ke-9 Masehi, sekitar tahun 770-825 Masehi.
Q: Siapa yang membangun Candi Borobudur?
A: Candi Borobudur dibangun oleh para pekerja dan seniman dari Wangsa Sailendra, sebuah dinasti yang menganut agama Buddha Mahayana. Raja Samaratungga diyakini sebagai raja yang memerintahkan pembangunannya.
Q: Apa makna nama “Borobudur”?
A: Ada beberapa interpretasi, antara lain “biara di perbukitan” (dari “Bara-Budur”) atau “bukit akumulasi kebajikan sepuluh tingkatan Bodhisattva” (dari “Bhumisambharabudhara”). Semua merujuk pada aspek spiritual.
Q: Mengapa Candi Borobudur ditinggalkan?
A: Alasan pasti tidak diketahui, tetapi teori umum melibatkan bencana alam (letusan Gunung Merapi), perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dan pergeseran agama di Jawa.
Q: Kapan Candi Borobudur ditemukan kembali?
A: Candi Borobudur ditemukan kembali oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814, yang kemudian mengutus H.C. Cornelius untuk membersihkannya.
Q: Kapan Candi Borobudur diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO?
A: Candi Borobudur diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tanggal 13 Desember 1991.
Q: Apa makna filosofis dari arsitektur Borobudur?
A: Arsitektur Borobudur melambangkan perjalanan menuju pencerahan dalam agama Buddha, dibagi menjadi tiga tingkatan: Kamadhatu (dunia nafsu), Rupadhatu (dunia bentuk), dan Arupadhatu (dunia tanpa bentuk), yang merepresentasikan tahapan spiritual.

Leave a Reply